Tahun 2008, Kabupaten Cilacap memasuki era baru. Era ini ditandai dengan pemanfaatan teknologi komputer untuk mendukung kerja pemerintahan hingga tingkat desa. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cilacap menerapkan Sistem Informasi Manajemen Pemerintahan Desa, selanjutnya disebut Simpemdes. Kini, setiap desa di Kabupaten Cilacap memiliki satu perangkat komputer dan pencetak (printer) yang mendukung kerja-kerja pemerintahan di desa.
Gagasan Simpemdes sebenarnya bukan hal baru. Saat ini pemerintah tengah gencar menerapkan sistem pemerintahan elektronik (e-government) untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik. Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dihadirkan agar para pelayan masyarakat (birokrat) bekerja secara transparan, cepat, dan murah. Namun, penerapan pemerintahan elektronik di setiap daerah berbeda-beda. Ada yang serius, ada juga yang menjadikannya sekadar euforia atau proyek belaka.
Sispemdes hanyalah salah satu program penerapan pemerintahan elektronik di Kabupaten Cilacap. Sebelumnya, ada program lain di tingkat dinas dan kecamatan. Ide Simpemdes muncul agar roda pemerintahan dan pelayanan publik menjadi efektif dan efisien. Namun, pada kenyataannya proyek ini justru menjadi lahan subur korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Mengapa bisa demikian?
Pertama, inisiatif Simpemdes masih bersifat top down (dari atas ke bawah). Pemkab mengeluarkan instruksi sementara Pemerintahan Desa (Pemdes) sendiko dawuh dan dipaksa membiayainya. Jelasnya begini, proyek ini muncul pada Maret 2008 di mana desa dan kecamatan telah selesai melakukan Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan (Musrenbang). Dari hasil Musrenbang, baik ditingkat desa maupun kecamatan, tak ada satu pun desa yang menyantumkan anggaran belanja Simpemdes. Lalu, Pemkab mengeluarkan Surat Edaran tentang Petunjuk Pemanfaatan Alokasi Dana Desa (ADD) yang salah satu poinnya menyatakan belanja TIK. Pada waktu yang bersamaan para camat untuk mengumpulkan para kepala desa untuk mengubah hasil Musrenbangdes. Pada pertemuan camat dan kepala desa, niat Pemkab untuk membuat proyek Simpemdes diutarakan. Secara tersirat, Camat sebagai alat kerja bupati menekankan bila kepala desa tidak mengubah hasil Musrenbang maka Pemkab tidak akan mencairkan dana ADD.
Dari pemaparan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Simpemdes adalah ide Pemkab yang dipaksakan pada desa. Bohong besar bila Simpemdes adalah bukti pembangunan yang dirancang dan dibiayai secara partisipatif oleh desa. Mengutip istilah AS Hikam, kenyataannya, Simpemdes adalah praktek otoriterisme birokratik (OB) yang menjadi ciri khas kepemimpinan represif Soeharto.
Kedua, dengan alokasi dana Simpemdes itu sebesar 48 juta, semestinya desa bisa melakukan tender sendiri. Tapi kenyataannya tender dikoordinasi oleh kecamatan dengan menggunakan sistem “tender semu”. Semua perusahaan (vendor) yang mengikuti tender telah direkayasa sedemikian rupa hingga hanya kelompok-kelompok yang memiliki kedekatan dengan penguasa yang memenangkannya. Kok bisa? Karena desa tidak mengetahui apa itu Simpemdes, apa bentuknya, perangkat teknologi apa yang dibutuhkan, dan lain-lain. Anehkan desa menganggarkan belanja desa untuk keperluan yang tidak mereka mengerti. Jadi, Pemdes hanya menurut kemauan Pemkab saja. Ibaratnya kepala-kepala desa seperti kerbau yang dicocok hidungnya, mereka menuruti apa kemauan tuannya: Pemkab Cilacap.
Ketiga, dengan uang 48 juta, desa mendapatkan satu perangkat komputer dengan spesifikasi prosessor Pentium Dualcore, RAM 512 MB, Hardisk 80 GB, Monitor Flat 15 inchi, Chassing Lenovo, dan satu printer laser merek HP. Pemdes mendapatkan perangkat lunak SIMPEMDES sebagai aplikasi dukungan bagi kerja-kerja pemerintahan. Dalam hitungan penulis, perangkat teknologi seperti itu bisa didapat hanya dengan harga 13 juta. Maka, masih ada 35 juta yang menjadi dana siluman. Cilacap memiliki 269 desa dan 15 kelurahan, jadi ada 284 desa dan kelurahan. Maka, ada 284 x 35 juta = 9,94 Milyar yang dicurigai untuk diselewengkan. Bukti nyatanya adalah setiap kepala desa mendapatkan kucuran dana dua juta rupiah pasca tender.
Simpemdes=Sistem Pemborosan Desa
Apakah belanja teknologi Simpemdes mesti membutuhkan dana yang besar? Jawabnya, tidak. Perlu diketahui bahwa untuk melaksanakan Proyek Simpemdes kita memerlukan tiga kebutuhan utama, yaitu perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan pelatihan. Untuk pengadaan perangkat keras dengan spesifikasi seperti di atas, kita hanya membutuhkan dana sekitar 6 juta, angka itu sudah termasuk pembelian monitor.
Untuk printer laserjet bisa didapat di pasaran sekitar 2,5 juta. Pilihan printer laser menurut penulis tidak efektif sebab desa akan sulit mencari toner tinta di wilayah mereka atau di kota kecamatan. Hemat penulis, sebaiknya kita menggunakan printer tinta dengan harga yang lebih murah. Untuk merek-merek tertentu printer seharga 1,5 juta sudah dilengkapi dengan teknologi scanner. Maka total belanja perangkat keras sebesar 6 juta ditambah 1,5 juta untuk printer jadi 7,5 juta.
Untuk perangkat lunak dibutuhkan aplikasi sistem operasi (operating system), apabila menggunakan Windows XP Profesional atau Window Vista maka dibutuhkan dana dua jutaan. Apabila menggunakan perangkat lunak berbasis sumber terbuka (open source) maka hanya membutuhkan dana sebesar lima ribu rupiah. Perangkat lunak berbasis sumber terbuka sangat murah dan handal, sayang tidak begitu banyak tenaga yang bisa mengoperasikan sistem operasi ini.
Perangkat lunak SIMPEMDES dapat dibeli dengan harga sekitar 3 juta rupiah. Sebagai perbandingan, Desa Balairante di Kemalang, Klaten bisa mendapatkannya perangkat lunak seperti itu hanya dengan harga 600 ribu. Jadi, pengeluaran proyek Simpemdes menghabiskan dana sekitar 12,5 juta. Ditambah dukungan pemasangan dan pelatihan maka 13 juta sangat cukup.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penerapan pemerintahan elektronik yang dilakukan Pemkab Cilacap jelas menghambur-hamburkan dana rakyat. Hal itu bertentangan dengan tujuan utama penerapan pemerintahan elektronik yaitu menciptakan pelayanan publik yang efektif dan efisien. Pemkab Cilacap memahami pemerintahan elektronik sebatas belanja teknologi informasi dan komunikasi. Singkatnya, karena ada kegiatan belanja maka terciptalah transaksi; transaksi dapat direkayasa sedemikian rupa sehingga penguasa mendapatkan keuntungan dari aktivitas tersebut. Di sinilah praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme tumbuh dengan subur.
Lurahsoft, Perangkat Lunak Gratisan yang Handal
Apabila Pemkab sedikit kreatif maka penggunakan perangkat lunak gratisan bisa menjadi pilihan. Pemkab Jembrana membuktikan ide secara nyata. Pemanfaatan perangkat lunak IGOS yang didistribusikan secara gratisan oleh Kementerian Riset dan Teknologi bisa menjadi alternatif penghematan pengadaan perangkat lunak berbayar, contohnya Microsoft Windows. Untuk sistem menejemen informasi seperti SIMPEMDES juga bisa didapatkan secara gratis, misalnya Aplikasi Lurahsoft. Jadi,Pemdes cukup menganggarkan pembelian perangkat keras, sementara perangkat lunaknya menggunakan perangkat lunak gratisan karena menggunakan perangkat lunak berbasis sumber terbuka (open source).
Aplikasi Lurahsoft dikembangkan oleh Paulus Bambangwirawan. Lurahsoft lahir dengan swadana, karena hobi dan obsesi pengembangnya. Karena itu, lisensi Lurahsoft diserahkan ke publik (publicware atau copyleft) sehingga siapapun bebas mengunduh Lurahsoft secara gratisan.
Awalnya software ini berjalan di sistem DOS (Disk Operating System), lalu bersama mahasiswanya, Paulus mengembangkan Lurahsoft bisa berjalan pada sistem Microsoft Windows. Para mahasiswa mencari informasi yang dibutuhkan dan relevan dengan sistem manajemen informasi pemerintahan kelurahan untuk menyempurnakan aplikasi Lurahsoft. Lebih dari itu, aplikasi menggunakan teknologi visual yang canggih dan memperhatikan penggunaan sistem identitas tunggal (SIN atau Single Identity Number) atau dulu populer dengan sebutan Nopen (Nomor Penduduk).
Sistem yang dikembangkan Lurahsoft tak jauh beda dengan aplikasi SIMPEMDES di Cilacap. Bahkan, Lurahsoft bisa terus dikembangkan oleh siapapun karena aplikasi berbasis pada sistem sumber terbuka. Apabila Pemkab dan Pemdes di Cilacap sepakat menggunakan aplikasi gratisan seperti Lurahsoft maka belanja Simpemdes hanya sebesar 8 juta. Angka itu lalu ditambah 2 juta untuk pelatihan intensif bagi perangkat desa yang akan menjadi tenaga yang mengoperasikan sistem tersebut. Jadi, total pengeluaran hanya 10 juta.
Apabila mereka telah menganggarkan 48 juta untuk proyek Simpemdes maka Pemdes bisa menghemat sebesar 38 juta. Dana negara yang bisa diselamatkan ada sekitar 10,972 Milyar. Angka tersebut bisa dipergunakan untuk pengadaan provider internet, katakanlah Speedy versi Office yang setahunnya menghabiskan dana 9 juta rupiah. Lalu, fasilitas internet bisa dibagi ke lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah dasar dan lembaga pendidikan masyarakat, melalui teknologi wajanbolik sehingga banyak orang dapat menikmati fasilitas internet secara gratisan.
Ada dua keuntungan yang didapat oleh Pemdes, pertama laporan kegiatan pemerintahan bisa dilakukan secara on-line dan kerja-kerja pelayanan publik menjadi efektif dan efisien. Kedua, Pemdes juga mampu menciptakan pusat pembelajaran (learning center) sehingga masyarakat desa makin pintar dan produktif. Bukankan ini yang kita impikan bersama?
Ditulis oleh Yossy Suparyo
Penulis adalah warga Desa Rawaapu, Patimuan, Cilacap